Sabtu, 30 Oktober 2010

Ketika Sang Bumi, Bulan, dan Matahari Berkata

"Hei, Bumi! Jika kau sudah muak, enyahkan saja peliharaan-peliharaanmu itu!"
"Wahai Matahari, aku tidak bisa. Aku harus merawat mereka."
"Aku tidak peduli!! Aku tidak tahan melihatmu menderita!"
"Aku tidak bisa. Aku harus merawat mereka."
"Keras kepala sekali dirimu wahai Bumi. Apa untungnya kau merawat mereka!?"
"Aku tidak peduli akan pemberian mereka. Aku hanya ingin merawat mereka, wahai Bulan."
"Aku selalu mengelilingimu dan aku sudah bosan melihat tingkah laku peliharaan-peliharaanmu yang sangat tidak tahu terima kasih."
"Tidak apa-apa, aku tidak peduli. Aku hanya ingin membuat mereka senang. Aah! Panas!!"
"Sudah kubilang, aku tidak tahan melihatmu menderita!! Apalagi sebuah penderitaan yang bersumber dari diriku!!"
"Tidak apa-apa wahai Matahari, kau tidak bersalah."
"Lantas siapa yang kausalahkan jika bukan sang Matahari!?"

Bumi terdiam begitu mendengar pertanyaan dari sang Bulan.

"Apa yang mendasarimu selalu membela peliharaan-peliharaanmu yang bejat itu!?"

Bumi tergerak, amarahnya memuncak.

"MEREKA SANGAT ISTIMEWA BAGIKU. AKU HIDUP UNTUK MEREKA!!!"

Amarahnya membuat dirinya terguncang dan orang-orang menyebutnya sebagai gempa.
Sang Bulan dan sang Matahari pun ikut terguncang mendengar pernyataan yang terlontar dari Bumi.

"Ouch! Panas!!"

Bumi merintih kesakitan, sang Matahari hanya terdiam.
Hening.
Tiba-tiba terdengar suatu percakapan yang berasal dari Bumi.

"Iiih... Panas banget!!! Nggak tahan deh!!"
"Iya, ya! Panas banget!! Mana banyak bencana lagi!? Bumi ini udah bobrok!!"
"Oh, iya! Sekarang lagi ada penelitian tentang Planet Mars kan?? Semoga aja emang bisa dihuni. Aku udah gak tahan hidup di tempat kayak gini!"

Mendengar percakapan itu, sang Bulan dan sang Matahari hanya menatapi Bumi.

"Kaudengar itu, hei Bumi?"

Angin berhembus sangat kencang berpadu hujan yang turun sangat deras, petir menyambar terus menerus disertai kilat yang bagai membelah langit, tanah pun berguncang.
Seorang kakek dan cucunya berlindung di kolong meja makan dan memegang kaki meja tersebut dengan sangat erat.
Pemandangan yang suram terlihat dari jendela.
Sang kakek hanya terdiam melihatnya, lalu ia segera mengeluarkan kata agar cucunya tidak terlalu takut.

"Cucuku, kau tahu apa arti bencana ini?"
"Tidak, Kek."
"Ini menandakan bahwa bumi kita sedang menangis meraung-raung."

...................................................................................................

"Kau salah wahai Bumi. Bukanlah kau yang hidup untuk mereka, tetapi merekalah yang seharusnya hidup untukmu."